Terlanjur Dinikahkan oleh Wali yang Tak Berhak, Bagaimana Hukumnya?

Dalam kasus ini, penanya dapat menggunakan pendapat mazhab Maliki yang memandang anak perempuan di luar pernikahan bersambung nasabnya kepada ayahnya. Keterangan sebagaimana dikutip dari Mukhtashar Khalil al-Kharasyi:

 “Jika seorang laki-laki berzinah dengan seorang perempuan, lalu perempuan itu mengandung seorang anak perempuan, maka anak itu haram [dinikahi] olehnya sebagaimana satu anak perempuan pada umumnya yang nasabnya menyambung pada ayahnya; Karena setiap orang diciptakan dari air mani laki-laki, maka ia adalah layaknya anak perempuan pada umunya, haram dinikahi olehnya dan oleh ushul maupun furu’-nya, statusnya bukan anak tiri, dan anak laki-laki kandungnya juga termasuk, sehingga dilarang mengawini anak perempuan itu.” (Muhammad bin ‘Abdillah as-Sarakhasyi, Syarh Mukhtashar Khalil, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid III, hal. 307).

Dengan keterangan mazhab Maliki ini, maka otomatis penannya tersambung nasabnya kepada ayah, yang menjadikan akad nikah yang dilaksanakan menjadi sah. Selain itu, mazhab Maliki, ayah penanya yang menjadi wali dapat menjadi bentuk perwalian umum selama ia beragama Islam.

Menurut Syekh Wahbah, dalam mazhab Maliki ada yang disebut sebagai perwalian umum dengan satu syarat, ia merupakan orang Islam. Orang ini dapat menjadi wali bagi beberapa kelompok orang, di antaranya adalah perempuan yang tidak memiliki nasab. Syekh Wahbah menyebut:

“Perwalian umum: dimiliki dengan satu sebab, yaitu Islam. Perwalian ini untuk semua orang Islam. Yang melaksanakannya adalah salah satu dari mereka dengan cara seorang perempuan minta diwakilkan kepada salah seorang Islam untuk melaksanakan akad perkawinannya. Syaratnya, dia tidak memiliki bapak atau orang yang diwasiatkan oleh bapaknya; dan dia adalah perempuan rakyat jelata bukan seorang perempuan bangsawan. Perempuan rakyat jelata adalah perempuan yang tidak memiliki kecantikan, harta, nasab, kehormatan, dan keturunan. Orang yang tidak memiliki nasab adalah anak perempuan yang lahir hasil hubungan zina, atau syubhat atau budak perempuan yang dimerdekakan.” (Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid IX, hal. 180).

Meskipun umumnya di Indonesia menggunakan mazhab Syafi’i dalam peraturan pernikahan, hanya saja dalam kasus penanya, akad yang digelar saat itu apabila ditinjau dalam mazhab Syafi’i tidak sah. 

Hanya saja, pendapat dalam mazhab Maliki yang telah dijelaskan dapat menjadi alternatif bagi penanya, sehingga pernikahan pun menjadi sah. Demikianlah jawaban yang kami berikan, kiranya mohon maaf apabila ada kekurangan dan kesalahan kata.

Wallahu a’lam

Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darus Sunnah Jakarta

Similar Posts